Tuesday, March 30, 2010

Indonesia Hadapi Kesenjangan Teknologi Digital

Bangsa Indonesia masih menghadapi kesenjangan teknologi digital atau digital divide antara masyarakat yang hidup di daerah terpencil dengan di perkotaan.

"Kita terus berupaya membangun jaringan sistem telekomunikasi dan telepon agar daerah terpencil tak lagi terisolir," kata Dr Moedjiono, M.Sc, staf ahli Bidang Hubungan Internasional dan Kesenjangan Digital, Departemen Komunikasi dan Informatika di Kuta, Bali.

Ia mengatakan, upaya tersebut terus dilakukan untuk membangun infrastruktur dengan sistem jaringan koneksi serat optik, yang dinilai lebih efektif.

"Koneksi ke internet bisa saja lewat satelit. Tetapi kalau menggunakan jaringan serat optik biayanya akan lebih murah," katanya di sela seminar bertema "Empowering Language Throught ICT".

Moedjiono mengakui kondisi geografis wilayah Indonesia memerlukan biaya besar untuk membangun jaringan komunikasi, namun harus tetap diwujudkan walau bertahap.

"Termasuk juga membangun perangkat lunak komputer berbahasa Indonesia. Jika hal itu dapat diwujudkan, akan memudahkan pengoperasian komputer, terutama bagi warga yang belum menguasai bahasa Inggris," ucapnya.

Dalam rangka merealisasikan keinginan tersebut, perlu dibangun pemahaman dan perspektif yang sama dari para ahli, peneliti, akademisi, praktisi serta pengembang di bidang linguistik.

Selanjutnya mereka bersama-sama menyiapkan perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan dan pengembangan sumber daya dari perangkat bahasa Indonesia dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Langkah yang harus ditempuh, kata Moedjiono, meliputi pembangunan fasilitas multibahasa di internet guna meningkatkan pengetahuan tentang komputer dan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kemudian pembangunan dan pengembangan perangkat bahasa Indonesia seperti pengecekan ejaan, tata bahasa, bentuk kata serta aturan-aturan tata bahasa Indonesia.

Membangun mesin pencari bahasa Indonesia, mengembangkan perangkat perubah dari teks ke suara pembicaraan atau sebaliknya.

Selain itu mengembangkan sumber pengetahuan digital di berbagai bidang secara bertahap sesuai prioritas kebutuhan, di antaranya bidang pendidikan, kesehatan, kepariwisataan dan hukum

Wimax Bisa Atasi Kesenjangan Digital

Wimax Bisa Atasi Kesenjangan Digital

Wimax atau teknologi komunikasi data berpita lebar bisa menjadi salah satu solusi mengatasi persoalan kesenjangan digital di Indonesia. Teknologi baru ini memiliki banyak keunggulan seperti interoperasional, berbasis kanal terbuka, dan murah sehingga cocok dikembangkan di pedesaan.
Peneliti Senior PT Hariff Daya Tunggal Engineering (DTE) Atmadji Wisesomengatakan, peranti Wimax sengaja ditujukan ke wilayah berkepadatan penduduk rendah. ”Di tahap awal, kami mengembangkan jenis yang fixed (tetap) karena harganya paling murah dan bisa efektif digunakan di wilayah pedesaan,” tuturnya.

Pada bulan ini, PT Hariff DTE meluncurkan Himax 231, yaitu peranti Wimax berbasis Broadband Wireless Access (BWA) pertama hasil karya anak bangsa. Teknologi BWA-nya telah berstandar internasional IEEE 802.16-2004 dengan daya angkut informasi data mencapai 40 megabit per detik. Peranti ini berbasis teknologi terbuka (non-proprietory) dan bekerja di atas pita bebas lisensi 2,3 gigahertz.

Untuk keperluan komunikasi pedesaan, PT Hariff DTE telah menyiapkan varian khusus, yaitu Himax-231RA. Meski tidak disebutkan nominalnya, produk ini harganya relatif rendah dan sistem jaringannya dapat diimplementasikan secara ekonomis dan juga bertahap menyesuaikan kebutuhan. Teknologi ini sesuai pula implementasi jaringan USO (Universal Service Obligation).

Direktur Jenderal Aplikasi dan Telematika Departemen Komunikasi dan Informatika Cahyana Ahmadjayadi mengatakan, produk Himax-Wimax ini dapat berperan mengatasi kesenjangan digital di Indonesia, termasuk menyukseskan program UNESCO tentang pentingnya aksebilitas teknologi informasi.

Menurut dia, pemerintah mendukung penuh industri-industri Tanah Air yang melakukan riset di bidang ini.

KESENJANGAN DIGITAL

Kesenjangan digital adalah kesenjangan antara orang-orang dengan akses yang efektif ke digital dan teknologi informasi dan mereka yang sangat terbatas atau tidak memiliki akses sama sekali. Ini mencakup ketidakseimbangan dalam akses fisik ke teknologi serta ketidakseimbangan dalam sumber daya dan keterampilan yang dibutuhkan untuk berpartisipasi secara efektif sebagai warga digital. Dengan kata lain, itu adalah akses yang tidak seimbang oleh sebagian anggota masyarakat terhadap informasi dan teknologi komunikasi, dan tidak setara terkait akuisisi keterampilan. Istilah ini terkait erat dengan membagi pengetahuan sebagai teknologi menyebabkan kurangnya kurangnya informasi dan pengetahuan. Kesenjangan digital dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin, pendapatan, dan kelompok-kelompok ras, dan lokasi. [1] Istilah global digital divide mengacu pada perbedaan dalam akses teknologi antara negara-negara atau seluruh dunia.
Asal-usul istilah
Istilah awalnya disebut kesenjangan dalam kepemilikan komputer diantara kelompok-kelompok tertentu, dan selama itu peningkatan kepemilikan terbatas pada kelompok etnis tertentu.Istilah dimunculkan ke umum secara teratur pada pertengahan 1990-an, meskipun istilah sebelumnya muncul dalam beberapa artikel berita dan pidato-pidato politik pada awal 1995.Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dan wakil president Al Gore menggunakan istilah dalam pidato tahun 1996 di Knoxville, Tennessee. Larry Irving, seorang mantan Amerika Serikat Kepala Badan Administrasi Infrastruktur Telekomunikasi (NTIA) di Departemen Perdagangan, Asisten Menteri Perdagangan dan teknologi penasihat pemerintahan Clinton, mencatat bahwa serangkaian survei NTIA; menyebutkan definisi kesenjangan digital adalah " katalis untuk popularitas, di mana-mana, dan definisi "dari istilah, dan ia menggunakan istilah dalam serangkaian laporan. Sejak awal pemerintahan George W. Bush, laporan-laporan yang NTIA menjadi cenderung kurang fokus pada kesenjangan dan lebih fokus pada pertumbuhan akses broadband, terutama di kalangan kelompok-kelompok yang sebelumnya diyakini berada di sisi yang keliru dari kesenjangan digital.
Penggunaan saat ini
Ada berbagai definisi dari istilah "digital divide". Bharat Mehra mendefinisikan itu hanya sebagai "kesenjangan antara orang-orang yang menggunakan komputer, dan internet dan orang-orang yang tidak".
Istilah ini awalnya disebut kesenjangan dalam kepemilikan, atau akses reguler,pada komputer. Seperti akses Internet yang datang untuk dilihat sebagai aspek pusat komputasi, penggunaan istilah ini bergeser dari hanya mencakup kesenjangan bukan hanya komputer, tetapi juga akses ke Internet. Baru-baru ini, beberapa orang telah menggunakan istilah ini untuk merujuk kepada kesenjangan dalam akses jaringan broadband.Istilah ini dapat berarti bukan hanya tidak setaranya akses ke perangkat keras komputer, tapi juga kesenjangan antar kelompok-kelompok orang dalam kemampuan untuk menggunakan teknologi informasi sepenuhnya.
Karena berbagai kriteria yang dapat digunakan untuk menilai ketidakseimbangan, dan kurangnya data rinci terhadap beberapa aspek penggunaan teknologi, sifat dari kesenjangan digital adalah baik secara kontekstual dan dapat diperdebatkan. Kriteria yang sering digunakan untuk membedakan antara 'yang kaya' dan 'yang miskin' dalam kesenjangan digital cenderung berfokus pada akses ke hardware, akses ke Internet, dan rincian yang berkaitan dengan kedua kategori tersebut. Beberapa ahli khawatir bahwa pembicaraan ini mungkin mematahkan semangat penciptaan konten internet yang membahas kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Pembahasan kesenjangan digital sering dikaitkan dengan konsep lain. Servon Lisa pada tahun 2002 berpendapat bahwa kesenjangan digital "adalah gejala yang lebih luas dan lebih kompleks tentang masalah - masalah kemiskinan dan kesenjangan yang terus-menerus".Sebagaimana dijelaskan oleh Mehra (2004), keempat komponen utama yang memberikan sumbangan kepada kesenjangan digital adalah "status sosial ekonomi, penghasilan, tingkat pendidikan, dan ras di antara faktor-faktor lainnya yang terkait dengan pencapaian teknologi".
Pengakuan atas kesenjangan digital sebagai masalah besar telah menyebabkan para ahli, pembuat kebijakan, dan masyarakat untuk memahami "potensi internet untuk meningkatkan kehidupan sehari-hari bagi mereka yang berada di pinggirandan untuk mencapai keadilan sosial yang lebih besar, serta pemberdayaan".
Evolusi Kesenjangan Digital
Tipe pengukuran ketidaksetaraan distribusi yang digunakan untuk menggambarkan Digital Divide adalah Kurva Lorenz dan koefisien Gini, Namun, pertanyaan apakah kesenjangan digital sedang berkembang atau tidak sulit untuk dijawab.
Dalam karya "Menjembatani kesenjangan digital: Sebuah kesempatan untuk pertumbuhan dalam abad ke-21", contoh-contoh dari cara-cara pengukuran ini diilustrasikan. Dalam kurva Lorenz, kesetaraan sempurna penggunaan internet di negara diwakili oleh garis diagonal 45 derajat , yang memiliki nilai koefisien Gini nol. Ketidaksetaraan yang sempurna memberikan nilai koefisien Gini satu. Oleh karena itu jika Anda melihat angka-angka 2,4 dan 2,5 dalam dokumen, kedua grafik menunjukkan kecenderungan pertumbuhan kesetaraan 1997-2005 dengan koefisien Gini menurun. Namun, grafik ini tidak menampilkan hal yang penting yaitu, analisis rinci kelompok pendapatan tertentu. yang ditampilkan adalah sebagian besar dari kelompok berpenghasilan menengah bila dibandingkan dengan kelompok pendapatan tertinggi. Kelompok pendapatan terendah terus menurunkan tingkat kesetaraan bila dibandingkan dengan kelompok berpenghasilan tinggi. Oleh karena itu, masih ada jalan panjang sebelum kesenjangan digital dapat dihilangkan.

Tuesday, March 23, 2010

Kenapa Telapak Kaki dan Ketiak Tidak Tahan Geli

ketiak dan telapak kaki hampir sebagian besar orang menjadi bagian tubuh yang paling tidak tahan geli. Kenapa dua bagian ini paling sensitif dan tidak tahan jika digelitik atau disentuh?

beberapa orang mungkin memiliki bagian sensitif yang berbeda, karena pada titik tersebut menghasilkan refleks geli dengan derajat yang bervariasi atau bahkan tidak sama sekali. Seseorang mungkin memiliki daerah sensitif dimana orang lain tidak merasakan apapun.

Telapak kaki dan ketiak merupakan dua daerah dalam tubuh yang paling sensitif bagi kebanyakan orang. Hal ini karena pada telapak kaki memiliki konsentrasi meissner's corpuscles yang lebih tinggi. Ujung dari saraf ini akan membuat telapak kaki memiliki kadar geli yang lebih tinggi daripada bagian tubuh lainnya.

biasanya tempat yang paling geli adalah tempat yang sangat rentan terhadap serangan, setidaknya di sekitar bagian atas tubuh. Pada bagian ketiak mengandung pembuluh darah dan arteri, serta memungkinkan akses leluasa ke jantung karena tulang rusuk sangkar tidak lagi memberikan perlindungan kepada rongga dada di sekitar ketiak.

Hal yang sama juga berlaku pada bagian tubuh yang geli lainnya seperti leher. Karena tidak ada perlindungan dari tulang, maka secara otomatis seseorang akan bereaksi ketika daerah tersebut disentuh oleh orang lain. Sebagai tambahan, saraf reseptor yang dekat dengan permukaan kulit akan membuat sensitifitasnya makin tinggi.

Selain itu, leher juga mengandung bagian-bagian penting. Seperti karotid yang akan memasok darah ke otak serta batang leher yang membawa udara ke paru-paru juga terletak dibagian depan leher.

Peneliti juga menunjukkan bahwa cerebellum (otak kecil), yang merespons sentuhan akan menunjukkan aktivitas yang lebih saat diberi sentuhan yang mendadak dibandingkan dengan sesuatu yang telah diantisipasi. Jika otak sudah bisa mengenali sentuhan yang akan datang, hal ini akan membuat saraf respons tidak terlalu intens. Makanya seseorang tidak akan pernah berhasil menggelitik diri sendiri.

Seseorang yang tertawa saat digelitik dipengaruhi oleh faktor sosial, karena orang akan tertawa jika yang melakukan sentuhan tersebut adalah seseorang yang dekat atau sudah merasa nyaman satu sama lain seperti orang tua, sahabat, atau teman. Namun, jika yang melakukannya adalah orang lain, responsnya bukan tertawa tapi bisa saja menjadi marah.

Monday, March 1, 2010

SkyRoom, Memindahkan Ruang Meeting ke Dunia Virtual

Jika sebuah perusahaan memiliki banyak kantor cabang di kota atau bahkan negara lain, tentu salah satu pengeluaran operasional perusahaan yang paling membengkak adalah di masalah biaya perjalanan bisnis.

Hal ini bak buah simalakama. Di satu sisi, aktivitas tersebut penting karena dilakukan untuk menggelar suatu meeting ataupun berkoordinasi dengan anggota perusahaan lainnya. Tapi di sisi lain, menjadi salah satu corong biaya pengeluaran terbesar perusahaan.

Namun jangan khawatir, efek negatif dari rutinitas wajib tersebut kini bisa diakali. Caranya pindahkan saja ruang meeting perusahaan Anda ke dunia virtual. Mudah kok.

Inilah salah satu keunggulan yang ditawarkan SkyRoom, solusi video conferencing desktop pertama dari Hewlett-Packard (HP).

Dijelaskan Cyhthia Defjan, Marketing Development Manager HP Workstation Indonesia, SkyRoom merupakan solusi video conferencing yang memiliki kemampuan untuk menfasilitasi sejumlah orang yang berada di lokasi berbeda untuk saling berkolaborasi dalam suasana natural di dunia virtual. Seolah-olah mereka berbagi desktop yang sama.

Seperti video conferencing di Yahoo Messenger? Kurang lebih seperti itu, namun kemampuan yang bisa diberikan jauh daripada itu.

Serasa di Depan Mata

Dalam demo yang dilakukan di kantor HP, detikINET menyaksikan bahwa SkyRoom dapat menfasilitasi pengguna dalam berbagi aneka tipe aplikasi, mulai dari dokumen yang ringan, gambar, hingga aplikasi tiga dimensi (3D). Uji coba itu dilakukan dengan tandem karyawan HP di Malaysia.

Layar monitor komputer menjadi ruang rapat di dunia virtual ini. Di bagian kanan layar, kita bisa melihat siapa saja para peserta meeting yang turut serta. Sementara bagian kiri layar digunakan untuk tempat file yang di-sharing ke meeting virtual ini.

Meski 'hanya' difasilitasi layar monitor, namun acara meeting di SkyRoom bisa berjalan layaknya meeting di dunia nyata. Para peserta dapat saling berinteraksi/berbicara satu sama lain, melihat bagaimana ekspresi wajah mereka serta bisa mengirim dan bahkan mengedit file yang ingin di-sharing ke floor secara realtime.

Dari demo video conferencing itu terlihat bahwa suara yang masuk terdengar cukup jernih, sedangkan video yang tersaji terbilang mulus. Pantas saja, sebab aplikasi ini bisa di-setting untuk menampilkan video berdefinisi tinggi (high definition/HD).

Hebatnya lagi, aplikasi yang di-share tersebut bisa dikontrol oleh user lain. Namun tetap, aksesnya harus seizin dari yang punya file. Jika diijinkan maka user lain bisa melakukan edit terhadap file tersebut. Namun dalam hal ini, file itu bukan berarti dikirimkan melainkan hanya diperlihatkan. File aslinya masih terdapat di tempat asalnya.

HP mengusung teknologi Remote Graphic Software di SkyRoom. Fungsinya untuk mengompres data 3D dan video yang berat sehingga hanya piksel datanya saja yang terkirim. Teknologi inilah yang memungkinkan acara sharing file 3D begitu mudah tersaji. Sebab pada prinsipnya, file tersebut tidak berpindah ke komputer user lain.

"Video meeting dengan kontak mata dan interaksi antar manusia yang natural dapat dilakukan dengan mudah, semudah melakukan koneksi Instant Messaging," imbuh Megawaty Khie, Managing Director Personal Systems Group HP Indonesia.

Spesifikasi Minimum

SkyRoom sendiri saat ini sudah di-pre instal dengan perangkat WorkStation HP seri Z dan XW4600 sejak Oktober 2009 lalu secara gratis.

Pun demikian, bukan berarti aplikasi ini tak bisa berjalan di luar perangkat besutan vendor Amerika Serikat itu. Sebab aplikasinya dijual juga secara terpisah dengan harga US$ 149 per lisensi serta sudah kompatibel dengan Workstation keluaran Dell, Lenovo dan Sun. Selain itu ke depannya juga akan dihadirkan untuk jajaran notebook.

Namun perlu diingat spesifikasi minimumnya. Yaitu membutuhkan Intel Core 2 Duo 2,33 GHz atau prosesor yang setara dengan 2 GB RAM, serta memakai OS Windows XP atau Vista. SkyRoom juga harus dijalankan pada sebuah corporate VPN guna menghubungkan ke sistem di luar firewall lokal.

Sementara minimum jaringan yang dibutuhkan adalah sebuah jaringan broadband dengan transfer rate minimum 400 kbps. Nah, bagi yang ingin men-share animasi 3D tapi memiliki koneksi internet terbatas seperti di atas, ini tetap bisa. Sebab ada fitur untuk mengkonfigurasikan ketajaman grafis yang diinginkan.

Kesimpulan

Secara umum SkyRoom memiliki fungsi yang benar-benar bisa menekan biaya operasional perusahaan dalam hal perjalanan dinas. Sebab, lewat layar monitor Anda pun koordinasi itu bisa dilakukan. Anda bisa melihat ekspresi wajah orang yang dituju, berinteraksi, hingga sharing file. Semua itu bisa dilakukan tanpa harus membeli tiket perjalanan, mengeluarkan biaya akomodasi dan mengorbankan waktu Anda dan keluarga.

Hanya saja kekurangan dari aplikasi ini adalah masih terbatas untuk digunakan oleh 4 user. Jadi untuk meeting dengan skala besar sepertinya kurang cocok.

Facebook Menguak Jati Diri Pemilik Akun

Facebook tidak melulu menampilkan profil palsu penggunanya atau profil yang diimpikan si pemilik akun. Dalam sebuah studi terbaru, terkuak fakta bahwa profil Facebook sebenarnya menunjukkan jati diri sesungguhnya.

Studi itu dilakukan oleh psikolog Mitja Back dari Universitas Johannes Gutenberg di Jerman. Ia dan timnya meneliti sebanyak 133 Facebooker dan 103 pemilik akun di situs serupa di Jerman yang berusia antara 17-22 tahun.

Pertama, mereka diminta untuk mendeskripsikan kepribadian asli mereka. Kemudian mereka juga diminta untuk menggambarkan versi ideal yang mereka inginkan dan kemudian dari situ perilaku mereka mendapatkan rating.

Setelah diteliti dan dibandingkan dengan profil mereka di dunia maya, ternyata rating itu kebanyakan cocok dengan deskripsi jati diri asli mereka dibanding dengan jati diri ideal yang mereka kemukakan.

Bagaimana dengan Anda, apakah akun Facebook menggambar kepribadianmu sesungguhnya?